Selasa, 17 Januari 2017

KRITIK ARSITEKTUR

Kritik Arsitektur ( Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki)

A.   Kritik Normatif
Hakikat Kritik Normatif adalah :  
  • Adanya keyakinan (conviction) bahwa di lingkungan dunia manapun, bangunan dan wilayah perkotaan selalu dibangun melalui suatu model, pola, standard atau sandaran sebagai sebuah prinsip. 
  • Dan melalui ini kualitas dan kesuksesan sebuah lingkungan binaan dapat dinilai. 
  • Norma bisa jadi berupa standar yang bersifat fisik, tetapi adakalanya juga bersifat kualitatif dan tidak dapat dikuantifikasikan. 
  • Norma juga berupa sesuatu yang tidak konkrit dan bersifat umum dan hampir tidak ada kaitannya dengan bangunan sebagai sebuah benda konstruksi

  1.  Kritik Normatif Tipikal
    Metoda Normatif Tipikal ( suatu norma yang didasarkan pada model yang digenralisasi untuk satu kategori bangunan spesifik)
  • Studi tipe bangunan saat ini telah menjadi pusat perhatian para sejarawan arsitektur. Hal ini dapat dipahami karena desain akan menjadi lebih mudah dengan mendasarkannya pada type yang telah standard, bukan pada innovative originals (keaslian inovasi). 
  • Studi tipe bangunan lebih didasarkan pada kualitas, utilitas dan ekonomi dalam lingkungan yang telah terstandarisasi dan  kesemuanya dapat terangkum dalam satu typologi. 
  • Metode Tipikal, yaitu suatu pendekatan yang mempunyai uraian urutan secara tersusun. Contoh. Bangunan sekolah, tipe yang ada ialah seperti ruang kelas, ruang guru,ruang kepala sekolah, ruang kesenian,  lab, perpustakaan, kantin, gudang, toilet.
 
Contoh Kritik Normatif Tipikal:
 Penampilan bangunan, baik dalam segi interior maupun eksterior selalu menghadirkan unsur keindahan. Adakalanya, kesan estetis itu muncul dari bentuk bangunannya namun ada juga ketertarikan itu dapat muncul dari tampak suatu bangunan. Keindahan suatu bangunan harus ditunjang dengan keberhasilan fungsi dan kekuatan strukturnya agar unsur-unsur arsitektur dapat terpenuhi dengan baik dan keharmonisan dapat terwujud.
Di dalam arsitektur kita mengenal banyak sekali bentuk. Seperti kata Paul Jacues Grillo, salah satu Arsitek dari Prancis yang terkenal “ALL ARCHITECTURE IS MADE OF FORM” jika diartikan kedalam bahasa Indonesia yaitu arsitektur diciptakan dari bentuk-bentuk. Dalam kenyataannya kita melihat banyak sekali bangunan-bangunan yang dirancang dalam berbagai bentuk yang sederhana tetapi dapat terlihat menarik.
            Contohnya saja gedung teater yang terletak di Taman Ismail Marzuki, memiliki bentuk dasar persegi dan juga terdapat bentuk segitiga di bagian tampak bangunan dari gedung ini yang dapat dikatakan menjadi pusat ketertarikan dan ikonis karena bentuknya yang menarik. Bentuk dasar persegi dari bangunan ini dapat dikatakan sebagai pusat bangunan yang di dalamnya terdapat ruang inti dan ruang-ruang pendukung lainnya, sedangkan bentuk segitiga pada bagian tampak bangunan ini sangat  memperkuat estetika dan menjadi pusat perhatian dari keseluruhan bangunan yang ada. Namun tidak hanya estetis bentuk segitiga ini juga didukung dengan struktur yang kuat dan bentuknya pun unik dan yang terpenting bentuk struktur ini menjadi satu kesatuan dengan bentuk segitiga tersebut.
Menurut in desisgn indonesia dalam websitenya menjelaskan bahwa gedung ini memiliki sebuah ruang inti yang bernama Teater Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra pit. Adapun Teater Studio yang berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat duduk yang difungsikan sebagai ruang latihan dan pertunjukkan skala kecil. Meskipun kecil, di dalam ruang ini terdapat 4 alternatif penataan panggung. Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.


Eksterior Teater Taman Ismail Marzuki


Interior Teater Taman Ismail Marzuki


B.     Kritik Deskriptif
Hakikat Metode Kritik Deskriptif adalah:
  • Dibanding metode kritik lain descriptive criticism tampak lebih nyata (factual) 
  • Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota 
  • Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan. 
  • Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya. 
  • Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.

1.      Metode Kritik Deskriptif Biografis
Kritik yang hanya mencurahkan perhatiannya pada sang artist (penciptanya), khususnya aktifitas yang telah dilakukannya. Memahami dengan logis perkembangan sang artis sangat diperlukan untuk memisahkan perhatian kita terhadap intensitasnya pada karya-karyanya secara spesifik.
Sejak Renaisance telah ada sebagian perhatian pada kehidupan pribadi sang artis atau arsitek dan perhatian yang terkait dengan kejadian-kejadian dalam kehidupannya dalam memproduksi karya atau bangunan. Misalnya, bagaimana pengaruh kesukaan Frank Lyod Fright waktu remaja pada permainan Froebel Bloks (permainan lipatan kertas) terhadap karyanya? Bagaimana pengaruh karier lain Le Corbusier sebagai seorang pelukis? Bagaimana pengaruh hubungan Eero Sarinen dengan ayahnya yang juga arsitek? Informasi seperti ini memberi kita kesempatan untuk lebih memahami dan menilai bangunan-bangunan yang dirancangnya.


Contoh Kritik Deskriptif Biografis:
Pada awalnya proyek ini bernama Grand Theater di Taman Ismail Marjuki yang akhirnya berubah menjadi Teater Jakarta. Gedung teater ini merupakan kelanjutan dari proyek masterplan yang didesain oleh Raul Renanda bersama Altelier 6 pada tahun 1995. Pelaksaannya baru dimulai pada tahun 1996 dan selesai dapat digunakan pada tahun 2010. Konsep ini gabungan vernacular di Indonesia yang berdasarkan ide dari struktur bangunan Toraja yang juga merupakan konsep bangunan joglo sebagai potongan melintang dari bangunan teater ini. disajikan dalam tatanan modern namun masih mempunyai nafas Indonesia.
Ruang dengan kapasitas 1200 penonton dengan luas panggung 14 - 16 meter (w) dan 7 - 9 meter (h) dapat digunakan untuk berbagai pertunjukan (musik, teater, tari dll). Dilengkapi dengan ruang lobby, 12 ruang rias, ruang latihan serta sistem tata cahaya, tata suara, sistem auditorium dan pendingin ruangan.

C.   Kritik Interpretif
      Karakteristik utama kritik interpretif adalah kritikus dengan metode sangat personal. Tindakannya bagaikan sebagai seorang interpreter atau pengamat tidak mengklaim satu doktrin, sistem, tipe atau ukuran. Kritik Interpretif punya kecenderungan karakteristik sebagai berikut :
  • Kritikus sebagai seorang interpreter atau pengamat yang sangat personal. 
  • Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa ditunggangi oleh klaim doktrin, klaim objektifitas melalui pengukuran yang terevaluasi. 
  • Mempengaruhi pandangan orang lain untuk bisa memandang sebagaimana yang kita lihat. 
  • Menyajikan satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan(biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor” terhadap bangunan yang kita lihat). 
  • Melalui rasa artistiknya mempengaruhi pengamat merasakan sama sebagaimana yang ia alami. 
  • Membangun satu karya “bayangan” yang independen melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat sebuah kendaraan.

1.      Metode Interpretif Evokatif
Evoke berarti menimbulkan, membangkitkan. Ungkapan sebagai pengganti cara kita mencintai bangunan. Menggugah pemahaman intelektual kita atas makna yang dikandung bangunan. Membangkitkan emosi rasa kita dalam memperlakukan bangunan. Kritik evokatif tidak perlu menyajikan argumentasi rasional dalam menilai bangunan. Kritik evokatif tidak dilihat dalam konteks benar atau salah tetapi makna yang terungkap dan pengalaman ruang yang dirasakan. Mendorong orang lain untuk turut membangkitkan emosi yang serupa sebagaimana dirasakan kritikus.


Contoh Metode Interpretif Evokatif:
Teater Jakarta berlokasi di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, tepatnya di Jalan Cikini Raya No.73 Jakarta Pusat. Merupakan teater besar yang mempertunjukan berbagai pertunjukan seni serta galeri seni. Teater Jakarta mampu menampung 1200 orang dengan total luas lantai adalah 40.108m2 dari luas lahan 14.732m2 dan dilengkapi dengan fasilitas fly tower dengan ketinggian sama dengan panggung, yang memungkinkan para kru panggung mengganti latar belakang pertunjukan secara vertikal.
Pengembangan PKJ TIM itu kemudian mewujud dengan selesainya rencana induk terperinci (masterplan) oleh tim arsitek Atelier 6 pada 1995 atas dukungan penuh Gubernur Kepala DKI Jakarta kala itu, yaitu Surjadi  Soedirdja. Rancangan ini kemudian ditindaklanjuti pada 1996 dengan pemancangan pertama Gedung Teater Besar sebagai realisasi masterplan di bidang fisik. Gedung setinggi 5 lantai ini selesai dibangun tahun 2006, yang artinya membutuhkan tempo 10 tahun untuk menyelesaikannya. Hal tersebut disebabkan pembangunannya sempat terhenti selama 3 tahun, yaitu di tahun 1998, 1999, dan tahun 2005.
Gedung yang diklaim sebagai gedung berskala internasional ini memiliki sebuah ruang inti yang bernama Teater Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan panggung proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra pit. Adapun Teater Studio yang berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat duduk, difungsikan sebagai ruang latihan dan pertunjukan skala kecil. Meskipun kecil, dalam ruang ini dapat diwujudkan 4 alternatif penataan panggung.
Selain dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.
Saat ini, setelah hampir genap 6 tahun gedung ini beroperasi, setelah banyak pertunjukan dan ajang yang terwadahi dalam gedung tersebut, beberapa peristiwa, tantangan, dan kendala banyak terjadi menyertainya.
Furniture untuk kursi teater dari Ferco dan Archigrama. Finishing lobby menggunakan marmer Amarillo Triatna, Nero Marquina, Rosso Alicante, White Carara; karpet teater dari Patcraft; panggung, parket ruang latihan dan orchestra pitt oleh Daru-Daru; dance floor Harlequin Reversible; toilet dan daerah servis menggunakan homogenous tile dan keramik dari Essenza. Lantai plaza menggunakan batu andesit.

         

                                               
                                        Material Teater dan Lobby Teater Jakarta

Dinding lobi menggunakan marmer Nero Asoluto, Trespa Virtuon warna Copper Yellow, Armourcoat tipe Travertine warna hijau, dan Topakustik tipe plank 28/4 M warna beech. Elemen estetis kayu pada teater studio karya Rita Widagdo.
Plafon pada kantor menggunakan gypsum Knauf. Dinding kaca Asahimas clear dan Panasap hijau. Spider glass menggunakan Sistem Irish dari Fev Italia. Komposit alumunium dari Alpolic warna champagne metallic. Alumunium frame dari YKK AP. Pintu frameless fitting dari Dorma. Bungkus kolom beton precast oleh Dusaspun. Atap TECU Patina dan TECU Zinn dari KME Jerman. Cat rangka baja oleh Jotun.

           




Material Teater Jakarta

Fixed dan fitting secara keseluruhan menggunakan saniter TOTO. Elevator dan eskalator dari Sigma Elevator. Bangunan menggunakan genset FG Wilson, chiller Mc Quay, dan sound system TOA Galva.

Sumber :
  • https://www.behance.net/gallery/5762271/Teater-Jakarta 
  • http://www.tamanismailmarzuki.co.id 
  • https://id.foursquare.com/v/teater-jakarta-teater-besar/4cc50210dba3ef3bfbde0705/photos
  • http://www.jakarta-tourism.go.id/node/490?language=id
  • http://www.indesignindonesia.com/read-news-3-0-113-performing-ark.indesign.indonesia.magz