Kritik
Arsitektur ( Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki)
A. Kritik Normatif
Hakikat Kritik Normatif adalah :
- Adanya keyakinan (conviction) bahwa di lingkungan dunia manapun, bangunan dan wilayah perkotaan selalu dibangun melalui suatu model, pola, standard atau sandaran sebagai sebuah prinsip.
- Dan melalui ini kualitas dan kesuksesan sebuah lingkungan binaan dapat dinilai.
- Norma bisa jadi berupa standar yang bersifat fisik, tetapi adakalanya juga bersifat kualitatif dan tidak dapat dikuantifikasikan.
- Norma juga berupa sesuatu yang tidak konkrit dan bersifat umum dan hampir tidak ada kaitannya dengan bangunan sebagai sebuah benda konstruksi
1. Kritik
Normatif Tipikal
Metoda Normatif Tipikal ( suatu norma yang didasarkan pada
model yang digenralisasi untuk satu kategori bangunan spesifik)
- Studi tipe bangunan saat ini telah menjadi pusat perhatian para sejarawan arsitektur. Hal ini dapat dipahami karena desain akan menjadi lebih mudah dengan mendasarkannya pada type yang telah standard, bukan pada innovative originals (keaslian inovasi).
- Studi tipe bangunan lebih didasarkan pada kualitas, utilitas dan ekonomi dalam lingkungan yang telah terstandarisasi dan kesemuanya dapat terangkum dalam satu typologi.
- Metode Tipikal, yaitu suatu pendekatan yang mempunyai uraian urutan secara tersusun. Contoh. Bangunan sekolah, tipe yang ada ialah seperti ruang kelas, ruang guru,ruang kepala sekolah, ruang kesenian, lab, perpustakaan, kantin, gudang, toilet.
Contoh Kritik Normatif Tipikal:
Penampilan bangunan, baik dalam segi interior
maupun eksterior selalu menghadirkan unsur keindahan. Adakalanya, kesan estetis
itu muncul dari bentuk bangunannya namun ada juga ketertarikan itu dapat muncul
dari tampak suatu bangunan. Keindahan suatu bangunan harus ditunjang dengan
keberhasilan fungsi dan kekuatan strukturnya agar unsur-unsur arsitektur dapat
terpenuhi dengan baik dan keharmonisan dapat terwujud.
Di
dalam arsitektur kita mengenal banyak sekali bentuk. Seperti kata Paul Jacues
Grillo, salah satu Arsitek dari Prancis yang terkenal “ALL ARCHITECTURE IS MADE
OF FORM” jika diartikan kedalam bahasa Indonesia yaitu arsitektur diciptakan dari
bentuk-bentuk. Dalam kenyataannya kita melihat banyak sekali bangunan-bangunan
yang dirancang dalam berbagai bentuk yang sederhana tetapi dapat terlihat
menarik.
Contohnya
saja gedung teater yang terletak di Taman Ismail Marzuki, memiliki bentuk dasar
persegi dan juga terdapat bentuk segitiga di bagian tampak bangunan dari gedung
ini yang dapat dikatakan menjadi pusat ketertarikan dan ikonis karena bentuknya
yang menarik. Bentuk dasar persegi dari bangunan ini dapat dikatakan sebagai
pusat bangunan yang di dalamnya terdapat ruang inti dan ruang-ruang pendukung
lainnya, sedangkan bentuk segitiga pada bagian tampak bangunan ini sangat memperkuat estetika dan menjadi pusat
perhatian dari keseluruhan bangunan yang ada. Namun tidak hanya estetis bentuk
segitiga ini juga didukung dengan struktur yang kuat dan bentuknya pun unik dan
yang terpenting bentuk struktur ini menjadi satu kesatuan dengan bentuk
segitiga tersebut.
Menurut
in desisgn indonesia dalam websitenya
menjelaskan bahwa gedung ini memiliki sebuah ruang inti yang bernama Teater
Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra pit. Adapun Teater Studio yang
berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat duduk yang difungsikan sebagai ruang
latihan dan pertunjukkan skala kecil. Meskipun kecil, di dalam ruang ini
terdapat 4 alternatif penataan panggung. Selain dua ruang utama di atas,
terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan gedung ini cukup matang
disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang pameran, studio tari, ruang
ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola, dan orchestra shell.
Eksterior
Teater Taman Ismail Marzuki
Interior
Teater Taman Ismail Marzuki
B.
Kritik Deskriptif
Hakikat Metode Kritik Deskriptif
adalah:
- Dibanding metode kritik lain descriptive criticism tampak lebih nyata (factual)
- Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota
- Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan.
- Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya.
- Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.
1. Metode Kritik Deskriptif Biografis
Kritik
yang hanya mencurahkan perhatiannya pada sang artist (penciptanya), khususnya
aktifitas yang telah dilakukannya. Memahami dengan logis perkembangan sang
artis sangat diperlukan untuk memisahkan perhatian kita terhadap intensitasnya
pada karya-karyanya secara spesifik.
Sejak
Renaisance telah ada sebagian perhatian pada kehidupan pribadi sang artis atau
arsitek dan perhatian yang terkait dengan kejadian-kejadian dalam kehidupannya
dalam memproduksi karya atau bangunan. Misalnya, bagaimana pengaruh kesukaan
Frank Lyod Fright waktu remaja pada permainan Froebel Bloks (permainan lipatan
kertas) terhadap karyanya? Bagaimana pengaruh karier lain Le Corbusier sebagai
seorang pelukis? Bagaimana pengaruh hubungan Eero Sarinen dengan ayahnya yang
juga arsitek? Informasi seperti ini memberi kita kesempatan untuk lebih
memahami dan menilai bangunan-bangunan yang dirancangnya.
Contoh Kritik Deskriptif Biografis:
Pada awalnya proyek ini bernama Grand
Theater di Taman Ismail Marjuki yang akhirnya berubah menjadi Teater Jakarta.
Gedung teater ini merupakan kelanjutan dari proyek masterplan yang didesain oleh
Raul Renanda bersama Altelier 6 pada tahun 1995. Pelaksaannya baru dimulai pada
tahun 1996 dan selesai dapat digunakan pada tahun 2010. Konsep ini gabungan
vernacular di Indonesia yang berdasarkan ide dari struktur bangunan Toraja yang
juga merupakan konsep bangunan joglo sebagai potongan melintang dari bangunan
teater ini. disajikan dalam tatanan modern namun masih mempunyai nafas
Indonesia.
Ruang dengan kapasitas 1200 penonton
dengan luas panggung 14 - 16 meter (w) dan 7 - 9 meter (h) dapat digunakan
untuk berbagai pertunjukan (musik, teater, tari dll). Dilengkapi dengan ruang
lobby, 12 ruang rias, ruang latihan serta sistem tata cahaya, tata suara,
sistem auditorium dan pendingin ruangan.
C. Kritik Interpretif
Karakteristik
utama kritik interpretif adalah kritikus dengan metode sangat personal.
Tindakannya bagaikan sebagai seorang interpreter atau pengamat tidak mengklaim
satu doktrin, sistem, tipe atau ukuran. Kritik Interpretif punya kecenderungan
karakteristik sebagai berikut :
- Kritikus sebagai seorang interpreter atau pengamat yang sangat personal.
- Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa ditunggangi oleh klaim doktrin, klaim objektifitas melalui pengukuran yang terevaluasi.
- Mempengaruhi pandangan orang lain untuk bisa memandang sebagaimana yang kita lihat.
- Menyajikan satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan(biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor” terhadap bangunan yang kita lihat).
- Melalui rasa artistiknya mempengaruhi pengamat merasakan sama sebagaimana yang ia alami.
- Membangun satu karya “bayangan” yang independen melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat sebuah kendaraan.
1.
Metode Interpretif Evokatif
Evoke berarti menimbulkan, membangkitkan. Ungkapan sebagai
pengganti cara kita mencintai bangunan. Menggugah pemahaman intelektual kita
atas makna yang dikandung bangunan. Membangkitkan emosi rasa kita dalam
memperlakukan bangunan. Kritik evokatif tidak perlu menyajikan argumentasi
rasional dalam menilai bangunan. Kritik evokatif tidak dilihat dalam konteks
benar atau salah tetapi makna yang terungkap dan pengalaman ruang yang
dirasakan. Mendorong orang lain untuk turut membangkitkan emosi yang serupa sebagaimana
dirasakan kritikus.
Contoh
Metode Interpretif Evokatif:
Teater
Jakarta berlokasi di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, tepatnya di
Jalan Cikini Raya No.73 Jakarta Pusat. Merupakan teater besar yang
mempertunjukan berbagai pertunjukan seni serta galeri seni. Teater Jakarta
mampu menampung 1200 orang dengan total luas lantai adalah 40.108m2
dari luas lahan 14.732m2 dan dilengkapi dengan fasilitas fly tower
dengan ketinggian sama dengan panggung, yang memungkinkan para kru panggung
mengganti latar belakang pertunjukan secara vertikal.
Pengembangan
PKJ TIM itu kemudian mewujud dengan selesainya rencana induk terperinci
(masterplan) oleh tim arsitek Atelier 6 pada 1995 atas dukungan penuh Gubernur
Kepala DKI Jakarta kala itu, yaitu Surjadi Soedirdja. Rancangan ini
kemudian ditindaklanjuti pada 1996 dengan pemancangan pertama Gedung Teater
Besar sebagai realisasi masterplan di bidang fisik. Gedung setinggi 5 lantai
ini selesai dibangun tahun 2006, yang artinya membutuhkan tempo 10 tahun untuk
menyelesaikannya. Hal tersebut disebabkan pembangunannya sempat terhenti selama
3 tahun, yaitu di tahun 1998, 1999, dan tahun 2005.
Gedung
yang diklaim sebagai gedung berskala internasional ini memiliki sebuah ruang
inti yang bernama Teater Lirik dengan kapasitas duduk 1.200 penonton dengan
panggung proscenium, rear stage, side stage, fly tower, dan orchestra
pit. Adapun Teater Studio yang berukuran lebih kecil, yaitu 250 tempat
duduk, difungsikan sebagai ruang latihan dan pertunjukan skala kecil. Meskipun
kecil, dalam ruang ini dapat diwujudkan 4 alternatif penataan panggung.
Selain
dua ruang utama di atas, terdapat ruang-ruang pendukung lain yang menjadikan
gedung ini cukup matang disebut sebagai sebuah gedung teater, yakni ruang
pameran, studio tari, ruang ganti pemain, gudang properti, kantor pengelola,
dan orchestra shell.
Saat
ini, setelah hampir genap 6 tahun gedung ini beroperasi, setelah banyak
pertunjukan dan ajang yang terwadahi dalam gedung tersebut, beberapa peristiwa,
tantangan, dan kendala banyak terjadi menyertainya.
Furniture
untuk kursi teater dari Ferco dan Archigrama. Finishing lobby
menggunakan marmer Amarillo Triatna, Nero Marquina, Rosso Alicante, White
Carara; karpet teater dari Patcraft; panggung, parket ruang latihan dan
orchestra pitt oleh Daru-Daru; dance floor Harlequin Reversible; toilet dan
daerah servis menggunakan homogenous tile dan keramik dari Essenza. Lantai
plaza menggunakan batu andesit.
Dinding
lobi menggunakan marmer Nero Asoluto, Trespa Virtuon warna Copper Yellow,
Armourcoat tipe Travertine warna hijau, dan Topakustik tipe plank 28/4 M warna
beech. Elemen estetis kayu pada teater studio karya Rita Widagdo.
Plafon
pada kantor menggunakan gypsum Knauf. Dinding kaca Asahimas clear dan Panasap
hijau. Spider glass menggunakan Sistem Irish dari Fev Italia. Komposit
alumunium dari Alpolic warna champagne metallic. Alumunium frame dari YKK AP.
Pintu frameless fitting dari Dorma. Bungkus kolom beton precast oleh Dusaspun.
Atap TECU Patina dan TECU Zinn dari KME Jerman. Cat rangka baja oleh Jotun.
Material Teater Jakarta
Fixed dan fitting secara
keseluruhan menggunakan saniter TOTO. Elevator dan eskalator dari Sigma
Elevator. Bangunan menggunakan genset FG Wilson, chiller Mc Quay, dan sound
system TOA Galva.
Sumber :
- https://www.behance.net/gallery/5762271/Teater-Jakarta
- http://www.tamanismailmarzuki.co.id
- https://id.foursquare.com/v/teater-jakarta-teater-besar/4cc50210dba3ef3bfbde0705/photos
- http://www.jakarta-tourism.go.id/node/490?language=id
- http://www.indesignindonesia.com/read-news-3-0-113-performing-ark.indesign.indonesia.magz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar