ARSITEKTUR SEBAGAI LINGKUNGAN BINAAN
Apa itu Lingkungan Binaan?
Lingkungan binaan atau
lingkungan terbangun adalah suatu lingkungan yang
ditandai dominasi struktur buatan manusia. Sistem lingkungan binaan bergantung pada asupan energi, sumberdaya, dan
rekayasa manusia untuk dapat bertahan.
Dalam perencanaan kota, instilah ini memberikan kesimpulan bahwa sebagian besa lingkungan yang
dipakai manusia adalah lingkungan buatan, dan lingkungan buatan ini harus
diatur agar dapat mempertahankan hidup manusia dengan baik.
Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan
Kearifan
lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh
dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan
yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya,
dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan
lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur
perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan
sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan'
niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru
keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional,
dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat
kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut
memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau
perumahan tradisional.
Nilai-nilai
adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika
serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya
masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat.
Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat
mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan
demikian local wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
Penegasan
dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang
terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang
melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu
dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan
perkotaan di masa mendatang.
Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya
terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan
masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri,
diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota)
dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas
menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan
alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral
serta gagasan dan bahasa
Definisi budaya juga memberikan tekanan
pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya
hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik
dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar
individu (Antariksa, 2009). Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya,
dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan
lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan.
Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan
budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah
merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota
masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa
lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan
masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu,
berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk
ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya
(hard-landscape).
Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan
“budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap
pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan
universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor ada pada suburbans. Mereka
menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol
dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkunan binaan bersejarah.
Penerapan Arsitektur hijau pada lingkungan
binaan
Kearifan lokal dalam perancangan kota seharusnya
juga dilihat dari kearifan kita dalam memperlakukan lingkungan alamnya.
Bagaimana menyatukan kreatifitas perancang dengan lingkungan alam sekitar yang
menjadi pendukungnya.Pembangunan lingkungan binaan di Indonesia masih mengidap
obsesi yang sedikit berlebihan terhadap modernisasi lingkungan yang
kadang rela untuk mengorbankan elemen alamnya. Hal ini menyiratkan kesan
bahwa kota yang tertata dengan baik adalah kota dengan bangunan – bangunan
gedung baru yang serba canggih dan pintar, pembuatan jalan – jalan tol dan
jalan layang. Semestinya aspek pelestarian alam dan konservasi lingkungan
adalah satu aspek yang wajib pula untuk perhatikan. Tujuan dari penulisan ini
adalah menggali sebanyak mungkin informasi mengenai penerapan arsitektur hijau
pada perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Mendisain satu kota dengan
mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan alamnya. Kajian ini akan memberikan
simpulan tentang konsep lingkungan binaan “arif” dengan lingkungan alamiahnya,
sebagai kekayaan lokalitasnya.
Berawal dari kesadaran bahwa bumi kita memiliki
keterbatasan, maka keharmonisan antara alam sekitar dengan manusia mutlak untuk
dilakukan. Manusia modern cenderung meninggalkan kearifan – kearifan lokal yang
dianut oleh masyarakat sebelumnya demi sebuah kemodernan yang pada hakikatnya
justru menjadi penyumbang terbesar dalam perusakan lingkungan. Pemanasan global
menjadi isu yang semakin sering kita dengar. Lalu, apa sebenarnya yang menjadi
penyumbang perusakan lingkungan kita? Keberadaan jumlah manusia yang terus
bertumbuh menjadikan rentetan masalah yang salah satunya adalah semakin
berkurangnya lahan untuk permukiman. Sehingga muncul permukiman- permukiman
kumuh, pemanfaatan lahan yang tidak seharusnya menjadi lahan permukiman,
seperti bantaran sungai, daerah pinggiran rel kereta api atau kolong jembatan.
Selain itu juga konsumsi yang berlebihan untuk
kenyamanan tinggal seperti perangkat elektronik dan sambungan telekomunikasi
yang memerlukan energi berlebih. Terlebih lagi penggunaan bahan – bahan yang
tak terbarukan dalam pembangunan. Serta banyak hal lain yang pada dasarnya bisa
dihindari, namun tetap digunakan atas nama modernisasi dan kenyamanan sepihak.
Selain itu, kepadatan penduduk yang semakin
meningkat juga mengakibatkan berkurangnya lahan hijau dan area terbuka. Lahan
yang semakin berkurang mengakibatkan meningkatnya harga lahan. Hal ini
mempengaruhi pola berpikir manusia untuk memanfaatkan lahan semaksimal mungkin
untuk bangunan dibandingkan dengan untuk penghijauan dengan alasan ekonomi.
Selain itu adanya industri – industri dan kegiatan transportasi menyumbangkan
gas, cairan beracun dan sampah. Unsur – unsur kimia dan biologi meningkatkan
berbagai macam radiasi. Dan semua itu pada akhirnya akan berpengaruh buruk pada
kesehatan manusia.
Menghadapi pengaruh iklim global dan juga iklim
local di Indonesia,dengan pola pikir bahwa harus ada perubahan agar masa yang
akan datang tidak lebih buruk dari masa sekarang (sustainable life) menajdikan
lingkungan-lingkungan binaan seperti rumah,wilayah,kompleks,dll akan
menghasilkan dampak terhadap kenyamanan penghuninya.Terjadi cara pandang dalam
menyikapi perubahan iklim dalam lingkungan binaan.Contohnya pada saat suhu
semakin panas ,ada lingkungan binaan (dalam ahl ini unit kecil yaitu rumah)
yang beradaptasi dengan menggunakan AC dan ada yang menggunakan tanaman agar
dapat mendinginkan ruangan.Terjadi dua pendekatan untuk beradaptasi,namun dampak
yang dihasilkan ternyata lain.Bayangkan jika setiap rumah menghadapi pemanasan
global ini ditanggapi dengan “teknologi pendingin” dan satu lagi dengan
“Alamiah”.Dengan penggunaan AC , maka ruangan menjadi dingin,tetapi membutuhkan
energi yang berasal dari listrik dan pda sumbernya akan menghasilkan gas-gas
yang malah akan membuat bumi semakin panasa,dan AC pun menghasilkan panas
diluar ruangan tersebut.
Jika seluruh rumah melakukannya dapat
dibayangkan,udara diluar semakin panas,dan energi yang dihasilkan besar
sekali,tapi tidak seekstrem juga harus tanpa AC karena ada beberapa bangunan
dalam skala lebih besar yang memang memerlukannya.Penggunaan teknologi ini
harus diimbangi juga dengan beberapa upaya yang lebih baik agar iklim dan
lingkungan bersahabt dengan kita.Pada kasus ayng satunya ,jika kita menanam
pohon,banyak keuntungan yang didapat yaitu pohon mendinginkan ruangan dengan
bayangannya,daunnya tidak meradiasikan panas,dan kita mendapat O2 juga
bayangkan jika seluruh rumah memiliki banyak pohon akan berpengaruh dan
mengurangi CO2 sebagai gas pencipta pemanasan global.
Dari kasus llingkungan binaan dan kaitannya
dengan manusia,sudah ada perbedaan pendekatan yang sebenarnya berdampak ke
kehidupan yang akan datang.Di sini arsitek,akademisi,dan pihak-pihak lain
sebagai salah satu pemangku kepentingan pengembangan kota,dan merancang
lingkungan binaan adalah pihak yang berperan penting dalam memberikan jasa
konsultasi untuk pembangunan dan pengembangan lingkungan binaan. Arsitek
berperan penting dalam merancang bangunan untuk tempat tinggal, bekerja,
rekreasi dan lain-lain. Arsitek bertanggung jawab merancang bangunan agar layak
dihuni dan digunakan untuk kegiatan ekonomi dan sosial sehari-hari. Pada
dasarnya, setiap pembangunan pasti akan mengubah keseimbangan lingkungan alami
dan mengubahnya menjadi lingkungan binaan (built environment).
Dalam perancangan bangunan, arsitek didukung
oleh beberapa disiplin lainnya. Peran arsitek dan disiplin lainnya sangat
penting dalam merancang bangunan yang dapat beradaptasi dengan perubahan iklim
tersebut. Pengoperasian bangunan gedung bertingkat tinggi memerlukan energi
yang besar untuk penerangan dan pendinginan udara, sistem penyediaan air
bersih, pembuangan air dan sampah.Pengaruh perubahan iklim ini terhadap dunia
arsitektur juga ternyata berkaitan juga dengan pengaruh dunia arsitektur
terhadap perubahan iklim.Seperti kasus penggunaan AC dan pohon dimana
dipengaruhi iklim global tetapi juga pendekatan tersebut berpengaruh balik
kepada perubahan iklim global.Ada bangunan yang merespon dengan baik sehingga
akan menjadikan hasil yang lebih baik.Peran –peran arsitek pada perancangan
banguna-bangunan dan juga lingkungannya akan berpengaruh terhadap iklim
global.Sektor-sektor konstruksi,pembangunan pun berpengaruh terhadap perusakan
lingkungan ,dapat dilihat dari pengambilan material mulai dari hulu ke
hilir,secara terus menerus,mengurangi tanaman,yang akan menjadikan banyak
bencana dan bumi semakin panas.
Pengaruh Iklim terhadap arsitektur dan pengaruh
balik arsitektur terhadap perubahan iklim harus dilihat secara
bijaksana.Indonesia sebagai Negara beriklim tropis,dalam pembangunannya
seharusnya dapat memanfaatkan keuntungan iklim tropis di Indonesia,seperti
panas matahari yang menyinari setiap hari,adanya daerah-daerah yang sering
hujan,tanah yang bagus sehingga dapat ditumbuhi tanaman.Negara lain pun yang
beriklim subtropics,dll memiliki kelebihannya sendiri dan iklim-iklim ini erat
kaitannya dengan pembangunan diwilayah tersebut. Salah satu alasan mengapa
manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia berada
tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Karena cukup banyak
aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian
kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan.
Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang
tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasi diubah menjadi iklim dalam
(bangunan) yang lebih sesuai.Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar
yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak
seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali
gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada
di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang
yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilih berada di luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk
menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar
mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar
yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba
untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai.Arsitek di daerah
subtropis tentu berbeda dalam pendekatan perancangan terhadap bangunan
didaerahnya,dengan pendekatan dinding dua lapis,atap dapat datar,dll.Di
Indonesia,sudah ada ratusan tahun yang lalu rumah-rumah “tradisional” yang
terbukti sampai sekarang baik dalam hal beradaptasi terhadap iklim di Indonesia
dan juga perubahan Iklim.
Arsiteknya pada dahulu menggunakan pendekatan
“alamiah” dan sebenarnya pada saat sekaran pendekatan ini dapat
diterapkan.Dengan aturan-aturan hanya kayu apa yang digunakan, material bambu,
pengangkatan lantai dari tanah karena lembabnya tanah,pemasukan udara melalui
sela-sela dindin, dll. Berbeda sekali dengan konstruksi material yang
menghabiskan banyak energi dan pencariannya secara besar- besaran pada zaman
sekarang ini. Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi
masalah iklim setempat, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu
tuntutan mendasar yang wajib dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun
dia dibangun. Dengan perbuahan iklim ini,dan juga pemanfaatan iklim di
Indonesia, ada beberapa arsitek yang menggunakan pendekatan seperti yang tadi
dijelaskan diatas yaitu memikirkan masa yang akan datang (sustainable).
Arsitek dalam merancang lingkungan binaan salah
satunya bangunan menyadari perubahan iklima dalah sesuatu yang berpengaruh
terhadap bangunan yang akan dibuatnya,dan juga manusia mengetahui bahwa iklim
sangat berpengaruh terhadap tempat yang ia tinggali. Banyak cara untuk
pendekatan terhadap perubahan iklim dan juga iklim setempat di berbagai
daerah.Contoh diatas dengan menggunakan Menciptakan iklim mikro (dalam dearah
tertentu) dengan menanam pohon pelindung dengan tajuk lebar akan mengurangi
suhu cukup signifikan dalam daerah yang terlindungi/teduh. Ruang terbuka
(hijau) juga penting, selain sebagai penyerap karbon, juga merupakan ruang
interaksi sosial bagi pengguna bangunan. Penghawaan dan pencahayaan alami dapat
mengurangi beban pengoperasian bangunan. Selain itu, penyinaran panas yang
berlebihan juga harus dihindari untuk mengurangi beban pendinginan udara.
Hal ini dapat dilakukan dengan merancang sirip-sirip atau kanopi di jendela-jendela bangunan.Air hujan yang terjadi di Indonesia dimanfaatkan secara baik untuk memenuhi kebutuhan air penghuni bangunan..Jika iklim mikro ini diterapkan disetiap rumah ,dapat dibayangkan bagaimana hasilnya. Indonesia, sebagai negara tropis, mendapatkan sinar matahari, sepanjang tahun. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh perancang dengan memasang solar panel untuk menyimpan energi surya yang dapat memenuhi sebagian kebutuhan energi bangunan Indonesia, dengan teknologi rendah dan harga yang terjangkau. Ada beberapa teknologi lainnya yang dapat dimanfaatkan seperti mikro hidro (untuk komunitas) dan tenaga angin (di daerah dengan kecepatan angin tertentu).
Hal ini dapat dilakukan dengan merancang sirip-sirip atau kanopi di jendela-jendela bangunan.Air hujan yang terjadi di Indonesia dimanfaatkan secara baik untuk memenuhi kebutuhan air penghuni bangunan..Jika iklim mikro ini diterapkan disetiap rumah ,dapat dibayangkan bagaimana hasilnya. Indonesia, sebagai negara tropis, mendapatkan sinar matahari, sepanjang tahun. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh perancang dengan memasang solar panel untuk menyimpan energi surya yang dapat memenuhi sebagian kebutuhan energi bangunan Indonesia, dengan teknologi rendah dan harga yang terjangkau. Ada beberapa teknologi lainnya yang dapat dimanfaatkan seperti mikro hidro (untuk komunitas) dan tenaga angin (di daerah dengan kecepatan angin tertentu).
Teknologi tidak selamanya menyumbang terhadap
pemanasan global,tetapi juga dengan penerapan teknologi yang baik dan terencana
,akan menjadi sebuah lingkungan binaan yang baik dan berkelanjutan.Lingkungan
yang beradaptasi dengan pengaruh iklim local dan iklim global dapat
dimanfaatkan dengan baik,selain mengurangi dampak pemanasan global juga member
sumbangsih terhadap keberlanjutan lingkungan binaan tersebut.
Adaptasi dan pendekatan terhadap perubahan iklim
global dapat dilakukan dengan mengadopsi kearifan lokal dalam perancangan.Pada
zaman dahulu di Indonesia para perancang rumah –rumah yang disebut “Arsitektur
Tradisiona”l sudah menerapkan rancangan yang terbukti bertahan dalam menghadapi
iklim di Indonesia. Pada tahun 1980 an para arsitek Indonesia bergelut dengan
topik “Arsitektur Tropis” yang bertujuan memanfaatkan sebesar mungkin
keuntungan geografis Indonesia di daerah tropis guna mengurangi pemakaian
energi di dalam bangunan.Sekarang yang dibicarakan menjadi “Green Architecture”
ataupun “Sustainable Architecture” yang sebenarnya merupakan penyempurnaan dari
prinsip-prinsip dasar yang terbahas dalam “Arsitektur Tropis” dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi (yang baik) dalam pergerakan arsitektur
global.Protokol Kyoto,Climate exchange,Peringatan Hari Bumi,merupakan perhatian
nyata warga dunia terhadap perubahan iklim global yang semakin terasa.,dan bumi,sebgai
tempat manusia tinggal dan beraktivitas sudah semakin terdesak,dengan segala
kerusakan yang manusia timbulkan dimuka bumi.
Arsitek dalam hal ini memiliki peran penting
,dalam dunia rsitektur ,bangunan terbentuk umumnya menyesuaikan dengan iklim dimana
bangunan itu berada,bangunan berfungsi untuk manusia beraktivitas didalamnya
dan dapat menghadapi iklim global.Dalam menghadapi iklim seperti ini,tidak
hanya bangunan yang kuat merespon perubahan iklim tetapi juga memanfaatnkan dan
mejadikannya sebagai bangunan yang “sustainable”,member sumbangsih dengan
mengurangi efek pemanasan global dan juga berperan menjadikan bumi semakin baik
dan bersahabat dengan manusia.
Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik
Di dalam
permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda
sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat
tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu
lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung
dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari
masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut
pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan
yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan
tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan.
Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat
religius.
Agama dan
kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman
tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan
terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan
yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang
paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal
yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi
efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang
disahkan atau dilegalkan (Rapoport, 1969).
Pola tata
ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup
menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan
kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai
nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola
pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan
yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan
wilayah penyangga hijau.
Di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih
dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh
(rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim,
arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai
hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang
kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan
pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus
berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong
Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak
di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah
penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu.
Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan
gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat
(permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir.
Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut
dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota
mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk
dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki
makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti
dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat
dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong
(tata krama peradatan di Aceh) untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar
untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran
nilai-nilai masyarakat.
Oleh karena
itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan
proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman
sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan
nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi,
menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud
pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. (Burhan,
2008)
Pengaruh
kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada
pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman
dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah
perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut (Mahayani, 1995:35):
(1) Kepercayaan terhadap
kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya
oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan
dan kesengsaraan
(2) Faktor keamanan, puncak
bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat
adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya
(3) Faktor kesuburan
tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung
kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah
yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian
masyarakat setempat.
Rumah-rumah
di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu,
bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan,
sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah
orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat
melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan
kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur
diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat
diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu
juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung
Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya
Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok
(Krisna, 2005). Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan
bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman
pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan
asal usul yaitu dari segumpal tanah.
Oleh karena
itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai
tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman tradisional
sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan
lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan
berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem
kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa
wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung
memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi
lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung
kecil.
Ada juga
satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada
susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang
adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna
yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari
oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada
esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena
itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya
(Tulistyantoro, 2005).
Pola
perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi
bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan
membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan
lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008),
permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada
kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan.
Sedangkan
menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep
taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya
timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus)
menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga
perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga
(membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena
berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat
antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta
sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)
Kegiatan
adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara
nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah
kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya
bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among,
tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut
mempengaruhi bentuk pola permukiman (pola hunian) baik internal maupun
eksternal. Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola
permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas,
mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama
(komunal), linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat
dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang
lain.
Pola
permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu
pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan
orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai
yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat
erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk
arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan
peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur
Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya
Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun
sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan
para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka
pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai
persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura.
(Permatasari, 2008).
Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan
Persepsi budaya dalam perkotaan
pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz
dalam The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktifitas dan nilai
yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat
perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan
seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.
Dalam
pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities (1938)nya mengatakan
bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota
adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota
dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu.
Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi,
dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel,
dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings,
monuments, dan public ways.
Peran budaya
terhadap kota dalam The City (1905), Max Weber mengatakan bahwa konsep
kota menekankan kesopanan (urbanity) , wujud kosmopolitan dari urban
experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari
individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah.
Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba
mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses
kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang
demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan
ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang
khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo
2003:64).
Di sini
urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan
berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur
telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan.
Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang
berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan
lokal yang mereka punyai.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar