Jumat, 13 Juni 2014

Kontradiksikan keputusan-keputusan terhadap kejahatan narkoba

1.      Kontradisikan keputusan-keputusan terhadap kejahatan narkoba !
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan perkembangan meningkat, bahkan sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat produksi narkoba. Dikatakan, Indonesia sebagai “pasar narkoba”, karena eksisnya kegiatan “supply dan demand”. Penggunaanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan keluarga broken home sebagai sarana untuk eksodus dari masalah keluarganya, tetapi sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial sebagai bagian suatu “hiburan”. Narkoba memang menjadi sesuatu yang menjanjikan. Kepada produsen dan pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kepada penggunanya, ia juga mampu menjanjikan kenikmatan.
Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, hakim/pengadilan sudah menjatuhkan pidana. Strafmaat yang sudah dijatuhkan pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 (satu) tahun hingga pidana mati. Meski kebijakan kriminal melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir menunjukan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada, bahkan kurvanya meningkat. Tak pelak, beberapa komentar sumbang disasarkan ke lembaga-lembaga penegakan Hukum seperti kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan. Antara lain, para penegak hukum dianggap tidak mendukung dan tidak memberi kontribusi yang signifikan untuk program Pemberantasan kejahatan narkoba. Tulisan ini mencoba mencermati komentar sumbang tersebut, dengan menjawab atas pertanyaan-pertanyaan berikut : terhadap kian maraknya kejahatan narkoba di Indonesia, apakah hal itu berarti: pengadilan (dengan produknya berupa putusan pengadilan) telah gagal dalam tugasnya “mencegah” terjadinya kejahatan narkoba? Lalu, adilkah bila efektivitas penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tersebut hanya dibebantugaskan kepada pengadilan saja?
Kejahatan Narkoba Sebagai Penyakit Sosial.
Regulasi narkoba di Indonesia dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie, Stbl.1927 No. 278 jo. No.536), lalu diganti dengan UU No.9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, yang kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997, dan terakhir diganti lagi dengan UU No.35 tahun 2009. keberadaan Perundang-Undangan narkoba tersebut tidak terlepas dari UU No.8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1971 dan UU No.7 Tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic). Peraturan lain di bawah Undang-Undang bisa disebutkan, antara lain : PP No.1 Tahun 1980 tentang ketentuan penanaman Papaver, Koka dan Ganja; Inpres No. 3 tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainya; Permenkes No. 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang peredaran Psikotropika; Kepmenkes No. 917/Menkes/SK/VIII/1997 tentang jenis Prekursor Psikotropika dan Kepmenkes No. 890/Menkes/SK/VIII/1989 tantang jenis Prekursor Narkotika. Diterbitkannya Perundang-Undangan narkoba tersebut di atas juga dilatarbelakangi oleh akses lain penggunaan narkoba. Untuk kepentingan penelitian dan kepentingan medis, narkoba memang legal. Namun menjadi ilegal, bila untuk di luar 2 (dua) kepentingan tersebut.
Penggunaan/konsumsi narkoba di luar pengawasan ahlinya (dokter), akan membawa dampak negatif dan membahayakan bagi pemakainya. Diawali dengan efek candu (ketagihan) sebagai akibat muai rusaknya susunan syaraf pusat. Apabila pemakaiannya berlanjut, beberapa penyakit susulannya pun muncul. Diantaranya : paranoia, depresi, agresi, halusinasi, terganggunya produksi hormon di dalam tubuh, kemandulan dan penyusutan testikel pada pria. Efek ketagihan tersebut seringkali diikuti dengan deviasi perilaku, karena dorongan kuat untuk bagaimana mendapatkan narkoba, dari mulai cara yang halal hingga cara yang tidak halal (kriminal). Atas alasan penyalahgunaan narkoba dan peredaran gelap narkoba tersebut, maka para produsen narkoba, pengedar narkoba berikut jaringannya, dan penyalahguna narkoba telah diseret ke peradilan pidana Indonesia dengan jerat perundang-undangan narkoba tersebut. Meski sudah banyak pelakunya yang dijatuhi pidana, namun ternyata masih juga ada kejahatan narkoba di Indonesia. Seolah prevensi khusus dan prevensi Umum dari penjatuhan pidana terhadap para pelaku maupun pelaku potensialnya sama sekali tidak berpengaruh.
Ada fenomena menarik dari jenis pelaku penyalah guna dan pengedar narkoba, yaitu pertama, “pelaku lama” dan kedua, “pelaku baru”. Terhadap pelaku lama, masih terbagi lagi dalam kategori : pelaku yang masih berstatus narapidana dan pelaku yang sudah tidak lagi berstatus narapidana. Terhadap pelaku baru pun terbagi dalam kategori : pelaku yang memang sudah menjadi target operasi, dengan identitas yang sudah diketahui (namun belum tertangkap) maupun pelaku yang benar-benar baru. Pelaku-pelaku baru tersebut bukannya tidak mengetahui adanya putusan pidana yang telah dijatuhkan pengadilan, apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, bahkan bagi pelaku-pelaku lamanya, mereka tahu dan mengerti lalu kalau mereka tahu dan mengerti, mengapa mereka secara sadar melakukan atau melakukan kembali kejahatan narkoba? Apa yang menjadi sebab mereka melakukan kejahatan narkoba? Apakah sebab-sebab tersebut sama antara pelaku satu dengan pelaku lainnya? Lalu, apakah putusan pengadilan mampu meng-“ cover ” atas semua sebab kejahatan narkoba tersebut?.
Dalam disiplin Hukum Pidana, lazim didengar istilah ultimum remedium. Artinya. Sanksi pidana diposisikan sebagai jurus pamungkas, jika mekanisme diluar hukum pidana tidak berjalan efektif. Ini menunjukan, bahwa sanksi pidana idealnya merupakan “obat terakhir” setelah upaya-upaya di luar hukum pidana (nonpenal) dioperasionalkan/difungsikan. Diakui, bahwa sebab-sebab orang melakukan kejahatan itu demikian kompleks, dan berada di luar jangkauan Hukum Pidana. Dalam formulasi yang lebih menukik, penulis dapat mengatakan :
“ telah lama diketahui keterbatasan pemidanaan dalam menegakkan dan menjaga ketertiban dan keamanan individual maupun umum…Secara objektif, eskalasi perbuatan pidana terjadi karena berbagai faktor lingkungan, seperti tatanan politik, tatanan ekonomi, tatanan sosial, bahkan sebagai ekses budaya”.
Apabila kejahatan narkoba dilihat dari optikkebijakan kriminal, maka pencegahan dan penanggulangannya tidak boleh hanya mengandalkan pada peran jalur penal saja. Untuk efektivitas dan efisiensinya, justru perlu ada peran dan kinerja optimal dari jalur nonpenal. Hal itu, lebih disebabkan adanya peran yang saling melengkapi dari masing-masing jalur tersebut. Jalur nonpenal brsifat preventif, yang bekerja sebelum kejahatan narkoba terjadi, yakni melakukan langkah-langkah antisipatif agar kejahatan narkoba tidak terjadi, include di dalamnya melakukan penanganan terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan narkoba. Sebaliknya, jalur penal lebih bersifat represif-(baru) bekerja setelah kejahatan narkoba terjadi, dengan fokus utama pada pelakunya. Dari sisi frekuensinya, jalur nonpenal bersifat kintinu, yaitu “tetap bekerja” , baik sedang tidak ada pelanggarannya maupun/apalagi setelah ada pelanggarannya. Sebaliknya, jalur penal bersifat temporal kondisional, yaitu hanya “bekerja” ketika ditemukan pelanggaranya. Membandingkan pola kerja pada kedua jalur tersebut, maka peran jalur penal yang merupakan ultimum remedium tersebut sesungguhnya hanya mem-backup jalur nonpenal. Kerenanya, sebagai sebuah usaha rasional dari masyarkat dalam menanggulangi kejahatan, wajar bila kebijakan kriminal kemudian “memerintahkan” agar kedua jalur tersebut (penal dan nonpenal) diberdayakan secara berbarengan. pangejawantahan dari jalur nonpenal terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dapat berupa antara lain :
- Sosialisasi peraturan perundang-undangan narkoba, dari mulai menjelaskan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang hingga bentuk sanksi pidanya, dengan sasaran : sekolah/Universitas, kelompok remaja/pemuda dan masyarkat umumnya ;
- Sosialisasi tentang bahaya penyalahgunaan narkoba terhadap fisik dan mentalitas pemakainya, di mana pada gilirannya mampu menimbulkan instabilitas keamanan masyarakat serta ketahanan nasional, yang diberikan dalam bentuk antara lain, seminar, ceramah, penyuluhan, membuat booklet ;
- Sosialisasi tersebut melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti orang tua, guru, mantan pemakai narkoba yang sudah sadar, jajaran pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang terkait, tokoh-tokoh masyarakat, hingga tokoh-tokoh agama ;
- Bekerja sama dengan media massa untuk informasi timbal balik tentang kegiatan-kegiatan preventif tersebut,berikut output & outcome-nya ;
Apabila langkah-langkah strategis tersebut mampu secara terus menerus dilakukan, maka pengguna narkoba dari hari ke hari akan makin jauh berkurang, yang pada gilirannya akan mampu mereduksi permintaan dan penawaran (demand reduction & supply reduction) pada “pasar narkoba”, hingga pada akhirnya peredaran gelap narkoba akan hilang dengan sendirinya dari bumi Indonesia.
Sinergi
Kebijakan
Upaya melakukan segala bentuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy) yang oleh G. Peter Hoefnageles diartikan sebagai “the rational organization of the social reaction to crime”. Dan kebijakan kriminal ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (sosial policy), yang terdiri dari upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (sosial devence) dan upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (sosial welfare). Dengan demikian, tujuan utama dari kebijakan kriminal terhadap kejahatan narkoba adalah berkontribusi dalam mewujudkan tujuan dari kebijakan sosial tersebut, yaitu memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Pendapat dan solusi tentang pedofil

11. Pendapat dan solusi tentang pedofil !
Sebagai diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia.
      Menurut Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan di mana perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal. Pada saat ini rancangan DSM-5 mengusulkan untuk menambahkan hebefilia dengan kriteria diagnostik, dan akibatnya untuk mengubah nama untuk gangguan pedohebefilik. Meskipun gangguan ini (pedofilia) sebagian besar didokumentasikan pada pria, ada juga wanita yang menunjukkan gangguan tersebut, dan peneliti berasumsi perkiraan yang ada lebih rendah dari jumlah sebenarnya pada pedofil perempuan. Tidak ada obat untuk pedofilia yang telah dikembangkan. Namun demikian, terapi tertentu yang dapat mengurangi kejadian seseorang untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Di Amerika Serikat, menurut Kansas v. Hendricks, pelanggar seks yang didiagnosis dengan gangguan mental tertentu, terutama pedofilia, bisa dikenakan pada komitmen sipil yang tidak terbatas, di bawah undang-undang berbagai negara bagian (umumnya disebut hukum SVP) dan Undang-Undang Perlindungan dan Keselamatan Anak Adam Walsh pada tahun 2006.
Dalam penggunaan populer, pedofilia berarti kepentingan seksual pada anak-anak atau tindakan pelecehan seksual terhadap anak, sering disebut "kelakuan pedofilia. Misalnya, The American Heritage Stedman's Medical Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi pada dari pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak. Aplikasi umum juga digunakan meluas ke minat seksual dan pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur atau remaja pasca pubertas dibawah umur. Para peneliti merekomendasikan bahwa tidak tepat menggunakan dihindari, karena orang yang melakukan pelecehan seksual anak umumnya menunjukkan gangguan tersebut, tetapi beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk pedofilia, dan standar diagnosis klinis berkaitan dengan masa prapubertas. Selain itu, tidak semua pedofil benar-benar melakukan pelecehan tersebut.
Pedofilia pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad ke-19. Sebuah jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak tahun 1980-an. Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan.[30] Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan kepribadian lainnya dan patologi psikologis.
 
Solusi pedofil:
Seharusnya ancaman hukuman bagi paedofil belum sesuai dan belum memberikan efek jera kepada pelaku. Hukumannya harus di atas 20 tahun. Dan dia juga harus menanggung biaya untuk proses penyembuhan bagi korbannya. Hukuman bagi paedofil tergantung juper di polisi dan jaksa apakah ditambahkan pasal yang mengakibatkan masa depan anak yang hilang, trauma, pasal kekerasan, obat terlarang, dn lain-lain yang dituntut hakim hukuman 25 tahun atau lebih. Revisi undang-undang tentang perlindungan anak harus dilakukan karena,  hukumannya terlalu ringan. Yang kedua, di Indonesia terlalu banyak tabu jadi anak-anak tidak dibelajarkan. Hukuman apapun bentuknya tidak akan menimbulkan efek jera jika sanksi tersebut diberikan tanpa upaya menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan tindak kriminal itu dilakukan. Jika kita hanya mengandalkan sanksi dalam menekan tindak kriminalitas maka bisa dipastikan bukan berkurangnya tindakan kriminal yang akan terjadi tapi justru akan semakin meningkatnya kualitas tindak kriminal yang kita dapatkan. Untuk itu jika memang pemerintah serius ingin menekan tindak kriminalitas maka diperlukan tindakan sistemik yang akan mengurai benang kusut tindak kriminalitas yang sedang melanda negeri ini. Tapi saya tidak melihat keseriusan dari pemerintah dalam hal ini. 

Apa tanggapan dan jalan keluar mengenai lokalisasi

3. Apa tanggapan dan jalan keluar mengenai Lokalisasi?

Lokalisasi Bangunsari Surabaya direncanakan bakal tutup tahun ini. Pasalnya, dana kucuran dari Kementrian Sosial sebesar Rp. 459 juta dianggap mampu 'memandirikan' ratusan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang ada di wilayah tersebut. PSK untuk keluar dari jeratan dunia hitam dengan membuka usaha lain seperti warung kelontong, warung nasi, dan sebagainya.

Sebelumnya, tambah Khoirun, IDEAL dengan gencar sudah memberikan sentuhan rohani kepada PSK agar memiliki keinginan keluar dari jalan maksiat. Ia pun bersama anggota IDEAL lainnya akan membujuk PSK untuk memanfaatkan dana dari Kementrian Sosial tersebut. Jika mereka sudah mengajukan diri, maka IDEAL dengan Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya akan melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan dan bisnis, kemudian baru memulangkan PSK ke kampung halaman.

Lebih lanjut Khoirun mengatakan, pihaknya yakin lokalisasi Bangunsari tahun ini bisa ditutup. Karena permintaan dan pernyataan sikap dari para PSK sudah banyak. Mereka juga sangat mengharapkan bantuan dana itu untuk membuka usaha.

Seperti yang diungkapkan Tina (38), seorang PSK yang sudah beroperasi di Bangunsari selama 7 tahun. Ia mengaku, sudah beberapa bulan terakhir hatinya tersentuh ingin keluar dari dunia maksiat. Namun niat itu terpaksa ia tunda karena belum ada rencana usaha lain selain menjadi wanita penghibur.

"Sekarang waktu yang tepat, saya akan gunakan uang dari pak Menteri buat buka usaha warung kelontong," kata Tina di sela-sela acara penerimaan bantuan dana oleh Kementrian Sosial kunjungan di Lokalisasi Dupak Bangunsari, Kecamatan Krembangan, Jumat (17/2).

Menteri Sosial Republik Indonesia, Salim Segaf Al-Jufri yang melakukan kunjungan ke Bangunsari mengatakan, pemberian bantuan dana kepada wanita rawan sosial ekonomi sangat diperlukan agar mereka dapat mandiri dan dapat meninggalkan pekerjaannya saat ini dengan membuka usaha.

Sebelum berkunjung ke Bangunsari, Mensos terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan Walikota Surabaya beserta jajarannya di Balaikota Surabaya. Dalam kesempatan itu, Salim memaparkan bahwa pemerintah jangan hanya sekadar melakukan pembinaan dan memulangkan PSK. Tetapi juga harus melakukan pendampingan saat PSK sudah menjalankan usaha yang baru.

Pemerintah Kota, menurutnya, harus terus memantau pelaksanaan usaha yang dilakukan PSK tersebut. Bahkan kalau perlu, mendampingi hingga mendapat pekerjaan selain berwirausaha. "Yang lebih sulit itu kan pendampingan, tujuannya agar mereka tidak kembali lagi 'berjualan' jika usaha yang mereka lakukan tidak berhasil," ucap Salim.

Menteri Sosial juga berharap agar segenap masyarakat beserta kelembagaan lain untuk lebih sinergis bersama-sama mengentaskan permasalahan sosial yang ada. Salah satunya dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap PSK saat kembali ke masyarakat.
Drs H Khoirun Syaib, Wakil Ketua IDEAL (Ikatan Dai Area Lokalisasi) mengatakan, dana tersebut akan disalurkan kepada 153 PSK yang saat ini masih 'beroperasi' di Bangunsari. 
"Masing-masing akan mendapatkan sekitar Rp. 3 juta," ujarnya.
Dana itu kemudian akan digunakan


Tanggapan: tanggapan saya sangat positif terhadap apa yang dilakukan kementrian sosial tersebut. mengapa? karena hanya dengan cara-cara tersebut setidaknya bisa membubarkan tempat-tempat lokalisasi dan saya berharap itu semua berjalan di semua tempat lokalisasi yang ada di Indonesia dan berjalan lancar tanpa adanya hambatan sedikitpun.

Jalan Keluar: menurut saya jalan keluar untuk membubarkan lokalisasi yang ada, yaitu
- kerja sama antara pemerintah dengan warga disekitar tempat lokalisasi tersebut yang merasa terganggu dengan tempat tersebut. misalnya: bekerja sama untuk mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai bahaya dari seks bebas, mengadakan siraman-siraman rohani terhadap PSK yang ada pada tempat tersebut
- untuk pemerintah sendiri sebaiknya untuk memberikan lapangan pekerjaan untuk para PSK tersebut sehingga mereka tidak akan kembali ke pekerjaan lamanya. tetapi, saya harapkan lapangan pekerjaan tersebut beroperasi dengan baik sehinggak PSK tidak akan kembali ke tempat tersebut

- pada intinya lokalisasi tidak akan merebak, apabila tidak ada pelaku pembentukan lokalisasi tersebut dan semua wanita bisa menjaga diri agar tidak terbawa hasutan dan berfikir panjang untuk kedepannya

Seandainya saya menjadi caleg, apa yang saya lakukan

 2. Seandainya saya menjadi CALEG (Calon Legislatif), apa yang saya lakukan?
Jika saya menjadi caleg, saya akan menjadi wakil rakyat yang memiliki dedikasi tinggi, tanggung jawab kepada rakyatnya, jujur, serta memiliki loyalitas kepada masyarakat daerah yang saya wakil

Tuliskan dan tafsirkan 1 lagu populer yang menuliskan lirik tentang Indonesia

Lirik Lagu Indonesia Pusaka - Ismail Marzuki

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi


Tafsir dari lagu tersebut: tafsir yang bisa kita terima dari lagu tersebut adalah bahwa lagu tersebut mengingatkan kita bahwa Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang luhur dan besar, di Indonesia kita semua dilahirka dan dibesarkan, di Indonesia tempat kita semua berlindung, tidak ada yang lebih indah dari Indonesia. Jadi, dalam lagu tersebut menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus menghormati dan menjunjung tinggi bangsa Indonesia

Deskripsikan 1 bunga lambang suatu provinsi

Propinsi Sumatera Selatan
Lambang Sumatera Selatan berbentuk perisai bersudut lima. Di dalamnya terdapat lukisan bunga teratai, batang hari sembilan, jembatan Ampera, dan gunung serta di atasnya terdapat atap rumah khas Sumatera Selatan. Tertulis semboyan "Bersatu Teguh" pada bagian tengah bawah perisai.
Bunga teratai berkelopak lima berarti keberanian dan keadilan berdasarkan Pancasila. Selain itu bunga padma atau teratai adalah bunga suci dalam agama Buddha yang melambangkan Kemaharajaan Sriwijaya sebagai bukti sejarah kegemilangan masa lalu Sumatera Selatan. Batang hari sembilan adalah nama lain provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sembilan sungai. Jembatan Ampera merupakan ciri yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Gunung memiliki makna daerah pegunungan yang banyak terdapat di Sumatera Selatan. Sedangkan atap khas Sumatera Selatan yang berujung 17 dan 8 garis genting dan 45 buah genting merupakan simbol kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945


Deskripsikan tokoh wayang





Yudistira (Dewanagari: Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putra Pandu. Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar prabu dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.

Etimologi

Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam peperangan". Dalam kitab Mahabharata, ia juga disebut dengan nama Bharata[1] (keturunan Maharaja Bharata) andAjatasatru[2] Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
·                     Kurumukhya, "pemuka bangsa Kuru".
·                     Kurunandana, "kesayangan Dinasti Kuru".
·                     Kurupati, "raja Dinasti Kuru".
·                     Pandawa, "putra Pandu".
·                     Partha, "putra Prita atau Kunti".
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnyaArjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
·                     Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
·                     Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
·                     Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
·                     Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri".

Kelahiran

Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atauAdiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedangbersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantraAdityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggildewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti berhasil mendatangkanDewa Dharma dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Dharma, yaitu dewa keadilan dan kebijaksanaan. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.

Versi pewayangan Jawa

Sosok Yudistira yang ditampilkan saat dalam pementasan wayang Jawa. Kisah dalampewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.

Masa kecil dan pendidikan

Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali keHastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodanamerasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara daripada ResiKrepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.

Konflik memperebutkan kerajaan

Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaituSangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.

Pemerintahan Yudistira versi pewayangan Jawa

Yudistira (kiri) mencakupkan tangan sambil menghadap Narada (kanan) yang berdiri di depanKresna saat penyelenggaraan Upacara Rajasuya di Indraprastha.

 

 

Upacara Rajasuya

Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagaiMaharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.

Kehilangan kerajaan

Lukisan dari Punjab, dibuat sekitar abad ke-18, menggambarkan suasana aula permainan dadu antara Pandawa dan Korawa. Tampak dalam gambar, Dropadi yang berusaha ditelanjangi olehDursasana. Di sebelah kiri bawah, tampak kelima Pandawa sedang diam menerima kekalahannya.
Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istanaHastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkanIndraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepadaPandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.

Kehidupan dalam Pembuangan

Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bimayang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.

Awal pertempuran

Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, danSalya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.

Maharaja dunia

Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut, namun Bima selalu saja menyinggung Dretarastra akan perbuatan anak-anaknya sehingga sang raja sepuh pun lengser dari tahta Hastinapura.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi. Arjuna mengirim pasukan ke daerah utara, Bima ke timur, Nakula ke barat & Sahadewa ke selatan.

Akhirnya setelah beberapa pertempuran, semua kerajaan memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.

Deskripsikan pahlawan nasional



2. deskripsikan pahlawan nasional idola anda!

Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia. Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.


Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.


Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:


"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).