1. Deskripsikan Indonesiaku ke Indonesia, artikel dari sisi agama, budaya,
dll!
“Kembalikan
IndonesiaKu ke Indonesia"
Bangsa
Indonesia akan memperingati hari kemerdekaannya yang ke-67. Dalam kesempatan
bersejarah ini, perlu bagi kita untuk merenung dan menilai secara jujur
sudah sampai manakah pencapaian kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara?
Pertanyaan lainnya adalah, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah
mampu melaksanakan tujuan pembentukan negara seperti yang dicita-citakan oleh
para pendiri bangsa kita? Apakah segenap rakyat Indonesia sudah merasakan
manfaat dari penyerahan kebebasan mereka untuk diatur negara ini dan merasakan
keadaan yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja?
Pasti ada sisi terang, walaupun tidak kurang sisi kelam yang membayangi
perjalanan hidup Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam
terbesar di dunia yang demokratis, Indonesia sudah menjadi anggota G-20.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia sudah hampir mencapai satu triliun
dolar AS. Rasio utang Indonesia terhadap PDB sebesar 25 persen, cadangan devisa
114, 502 miliar dolar AS dan defisit publik kurang dari 2 persen terhadap PDB
menunjukkan kekuatan dan stabilitas ekonomi Indonesia pada 2011.
Selama tujuh tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia
terus menurun dari 36,1 juta orang atau 16,66 persen dari total penduduk pada
Februari 2004 menjadi 29,9 juta orang atau 12,36 persen dari total penduduk
pada September 2011. Pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir
selalu berkisar di atas 6 persen. Kondisi ekonomi makro yang stabil dan sehat,
tetapi apakah segala keberhasilan yang dicapai benar-benar sudah memberikan
manfaat bagi seluruh masyarakat?
Nyatanya, kita masih merasakan bayang-bayang gelap yang menghantui. Rasanya
kita belum benar-benar eksis sebagai sebuah negara yang berdaulat. Masih banyak
persoalan kebangsaan yang harus kita tangani secara komprehensif dengan
semangat kebersamaan bila kita tidak ingin menjadi negara gagal seperti hasil
penelitian organisasi nirlaba Foreign Policy and Fund for Peace. Indonesia berada
di nomor urut 63, lebih buruk dari 2011 yang berada di urutan 64. Daripada
berdebat tentang apakah Indonesia memang negara gagal, mari kita jadikan Failed
States Index (FSI) tersebut sebagai pemicu untuk mengoreksi kekeliruan.
Demokrasi Bukan
Tujuan
Rasanya, kekeliruan kita yang utama adalah menempatkan demokrasi sebagai
tujuan, padahal itu hanya cara untuk mengejar cita-cita nasional. Akibatnya,
politik kita jadikan panglima. Masih pula perlu kita pertanyakan kesesuaian
sistem kenegaraan kita saat ini dengan falsafah Pancasila. Rasanya Pancasila
sudah kita lupakan dan buang jauh-jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Bagaimana tidak, setelah empat kali perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kita
justru menafikan golongan minoritas. Bila dahulu MPR masih menampung aspirasi
kelompok minoritas dalam bentuk utusan golongan, sekarang hanya ada perwakilan
rakyat yang dipilih mewakili partai dan mewakili daerah. Dikhawatirkan terjadi
tirani mayoritas, hilangnya hak kaum minoritas.
Dalam aspek ekonomi, kita pertanyakan kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita
sudah melenceng dari amanat BAB XIV Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur
bahwa: perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kenyataannya justru banyak aset
ekonomi dan strategik kita yang dikuasai asing semisal telekomunikasi,
perbankan, pertambangan dan energi. Dalam hal pangan pun kita belum mampu
berswasembada apalagi berdaulat.
Tengoklah di sektor perbankan, misalnya, penguasaan aset perbankan nasional
oleh bank milik negara dan swasta nasional kian menyusut, digantikan penguasaan
aset oleh bank milik asing yang meningkat tajam dan mendominasi. Kepemilikan
asing di bank-bank tumbuh menjadi 21 persen di 2011. Aset bank swasta nasional
yang dimiliki lokal terus merosot dari 42 persen di 1998 ke-22 persen pada
2011, sedangkan aset bank BUMN terus tergerus dari 44 persen pada 1998 menjadi
35 persen di 2011. Apabila ditotal dengan kantor cabang bank asing dan bank
campuran, maka total pangsa pasar bank milik asing di Indonesia sudah mencapai
34 persen (Koran Jakarta, 26 Juli 2012).
Mari kita menyimak ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional”. Tapi apa kenyataannya?
Kita justru melihat tingkat kesenjangan yang semakin tinggi. Data Rasio Gini
yang merupakan ukuran ketimpangan pendapatan Indonesia mencapai 0,41 pada 2011,
memburuk dari 0,38 pada 2010. Konglomerasi semakin merajalela, ketimpangan
antardaerah, antarwilayah, dan antargolongan cenderung meningkat.
Sesungguhnya, tak satu pun amanat konstitusi kita yang mewajibkan untuk
menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, tetapi mengutamakan pemerataan
dan keadilan. Bukankah perintah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa” harus diartikan sebagai kebersamaan, bukan untuk
segolongan masyarakat?
Wajib Tegakkan
Keadilan
Dalam aspek
politik kita melihat demokrasi dengan sistem pemilihan yang bebas dinodai oleh
politik transaksional. Kondisi ini mengakibatkan pemimpin yang terpilih belum
tentu adalah putra terbaik bangsa, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap
pemimpin saat ini banyak diragukan. Mereka melihat betapa banyak pejabat publik
menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terhukum dalam kasus korupsi dan penyuapan.
Harus ada rekonstruksi politik yang lebih baik untuk lebih menjamin proses
pemilihan yang melahirkan pemimpin yang terbaik.
Dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton, 1887, Lord Acton menuliskan
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dengan
demikian, kuncinya adalah transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang
kuat. Namun apa lacur, penegak hukum belum memenuhi harapan. Ingat kasus
rekening gendut para petinggi Polri dan transfer uang yang mencurigakan seperti
dilaporkan PPATK? Kasus-kasus besar seperti Bank Century dan Hambalang
dikhawatirkan lenyap begitu saja.
Kita juga perlu mempertimbangkan untuk meredefinisi ulang politik luar negeri
kita agar lebih efektif dalam memperjuangkan dan menjaga kepentingan nasional.
Bukankah seharusnya kebijakan politik luar negeri semata-mata ditujukan untuk
pencapaian kepentingan bangsa? Kalau demikian, mengapa pilar utama politik luar
negeri kita lebih didasarkan pada kepentingan regional dan internasional, bukan
kepentingan nasional?
Selama 40 tahun terakhir, ASEAN selalu menjadi sokoguru politik luar negeri
Indonesia, terutama karena Indonesia adalah salah satu pendiri dan pemrakarsa
ASEAN. Karena itu, ASEAN seharusnya merupakan instrumen politik luar negeri
Indonesia karena dianggap mampu menyelesaikan permasalahan regional, bahkan
internasional.
Kenyataannya, forum-forum ASEAN tidak mampu menyelesaikan masalah antarnegara
anggota, bahkan kecenderungannya adalah Indonesia banyak mengalahkan prinsip
dan kepentingan nasionalnya sendiri demi keutuhan ASEAN. Ketegangan di Laut
China Selatan yang kembali memanas akhir-akhir ini merupakan salah satu bukti
nyata bahwa ASEAN memang tidak berdaya.
Dalam aspek
persatuan, kita masih melihat adanya gangguan separatisme di daerah. Ada pula
kesenjangan antardaerah, antargolongan, serta antara pusat dan daerah.
Bentrokan antargolongan masih terjadi, terutama dengan adanya kelompok-kelompok
anarkis yang melakukan tindakan kekerasan dan teror terhadap masyarakat. Belum
lagi peperangan antargeng dan antargolongan yang kembali merebak.
Gangguan terhadap kedaulatan wilayah kita masih terasa. Banyak intrusi yang
dilakukan negara asing terhadap wilayah perairan dan perbatasan. Berkurangnya
luas wilayah nasional akibat berpindahnya tapal batas wilayah kita di
Kalimantan serta pelanggaran udara dan laut RI oleh pesawat udara dan kapal
perang terutama kapal selam asing yang bahkan tidak pernah kita ketahui adanya,
adalah contoh kurangnya kemampuan dan kekuatan laut dan udara kita dalam
mengendalikan dan menjaga kedaulatan RI.
Lebih dari itu, bangsa Indonesia saat ini tercabut dari akarnya. Wawasan
kebangsaan yang bersumber dari landasan Pancasila tidak lagi menjadi falsafah
kehidupan. Bahkan, kita sudah tidak lagi paham landasan kebangsaan kita, yaitu
kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat karena batang tubuh konstitusi kita sudah
disimpangkan dari Pembukaan UUD 45 yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum.
Kontemplasi dan perenungan ini sesungguhnya bukanlah untuk menyanggah segala
keberhasilan, tetapi lebih sebagai upaya untuk menyadarkan kita semua bahwa
masih sangat banyak kekurangan yang perlu kita perbaiki.
Pasti bukan kebetulan 17 Agustus 2012 yang akan kita rayakan beberapa hari lagi
bertepatan jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1433 H, persis sama dengan 17
Agustus 1945 yang juga jatuh pada hari Jumat bulan Ramadan 1364 H. Ini menjadi
peringatan kepada kita semua untuk kembali berjuang, mengembalikan
keindonesiaan kita dengan memperbaiki pola pikir, pola sikap, dan pola tindak.
Indonesia harus kita kembalikan kepada haluannya yang benar, sesuai cita-cita
pembentukannya, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Mari kita kobarkan kembali rasa cinta tanah air, rela berkorban, rasa senasib
sepenanggungan, semangat persatuan dan kesatuan, dan menjadikan kemajemukan
kita sebagai kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika dan Merah Putih harus kembali kita
junjung tinggi dan kita kibarkan. Dengan kata lain, mari kita kembalikan
Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia ke-67, hiduplah Indonesia raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar