Kamis, 12 Juni 2014

pendapat dan solusi pedofil dan kontradiksi keputusan-keputusan terhadap kejahatan narkoba

Sebagai diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia.
      Menurut Diagnostik dan Statistik Manual Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia di mana seseorang memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi tentang anak-anak prapuber dan di mana perasaan mereka memiliki salah satu peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal. Pada saat ini rancangan DSM-5 mengusulkan untuk menambahkan hebefilia dengan kriteria diagnostik, dan akibatnya untuk mengubah nama untuk gangguan pedohebefilik. Meskipun gangguan ini (pedofilia) sebagian besar didokumentasikan pada pria, ada juga wanita yang menunjukkan gangguan tersebut, dan peneliti berasumsi perkiraan yang ada lebih rendah dari jumlah sebenarnya pada pedofil perempuan. Tidak ada obat untuk pedofilia yang telah dikembangkan. Namun demikian, terapi tertentu yang dapat mengurangi kejadian seseorang untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Di Amerika Serikat, menurut Kansas v. Hendricks, pelanggar seks yang didiagnosis dengan gangguan mental tertentu, terutama pedofilia, bisa dikenakan pada komitmen sipil yang tidak terbatas, di bawah undang-undang berbagai negara bagian (umumnya disebut hukum SVP) dan Undang-Undang Perlindungan dan Keselamatan Anak Adam Walsh pada tahun 2006.
Dalam penggunaan populer, pedofilia berarti kepentingan seksual pada anak-anak atau tindakan pelecehan seksual terhadap anak, sering disebut "kelakuan pedofilia. Misalnya, The American Heritage Stedman's Medical Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi pada dari pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak. Aplikasi umum juga digunakan meluas ke minat seksual dan pelecehan seksual terhadap anak-anak dibawah umur atau remaja pasca pubertas dibawah umur. Para peneliti merekomendasikan bahwa tidak tepat menggunakan dihindari, karena orang yang melakukan pelecehan seksual anak umumnya menunjukkan gangguan tersebut, tetapi beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosa klinis untuk pedofilia, dan standar diagnosis klinis berkaitan dengan masa prapubertas. Selain itu, tidak semua pedofil benar-benar melakukan pelecehan tersebut.
Pedofilia pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad ke-19. Sebuah jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak tahun 1980-an. Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan.[30] Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan kepribadian lainnya dan patologi psikologis.
 
Solusi pedofil:
Seharusnya ancaman hukuman bagi paedofil belum sesuai dan belum memberikan efek jera kepada pelaku. Hukumannya harus di atas 20 tahun. Dan dia juga harus menanggung biaya untuk proses penyembuhan bagi korbannya. Hukuman bagi paedofil tergantung juper di polisi dan jaksa apakah ditambahkan pasal yang mengakibatkan masa depan anak yang hilang, trauma, pasal kekerasan, obat terlarang, dn lain-lain yang dituntut hakim hukuman 25 tahun atau lebih. Revisi undang-undang tentang perlindungan anak harus dilakukan karena,  hukumannya terlalu ringan. Yang kedua, di Indonesia terlalu banyak tabu jadi anak-anak tidak dibelajarkan. Hukuman apapun bentuknya tidak akan menimbulkan efek jera jika sanksi tersebut diberikan tanpa upaya menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan tindak kriminal itu dilakukan. Jika kita hanya mengandalkan sanksi dalam menekan tindak kriminalitas maka bisa dipastikan bukan berkurangnya tindakan kriminal yang akan terjadi tapi justru akan semakin meningkatnya kualitas tindak kriminal yang kita dapatkan. Untuk itu jika memang pemerintah serius ingin menekan tindak kriminalitas maka diperlukan tindakan sistemik yang akan mengurai benang kusut tindak kriminalitas yang sedang melanda negeri ini. Tapi saya tidak melihat keseriusan dari pemerintah dalam hal ini.


1.      Kontradisikan keputusan-keputusan terhadap kejahatan narkoba !
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan perkembangan meningkat, bahkan sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat produksi narkoba. Dikatakan, Indonesia sebagai “pasar narkoba”, karena eksisnya kegiatan “supply dan demand”. Penggunaanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan keluarga broken home sebagai sarana untuk eksodus dari masalah keluarganya, tetapi sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial sebagai bagian suatu “hiburan”. Narkoba memang menjadi sesuatu yang menjanjikan. Kepada produsen dan pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kepada penggunanya, ia juga mampu menjanjikan kenikmatan.
Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, hakim/pengadilan sudah menjatuhkan pidana. Strafmaat yang sudah dijatuhkan pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 (satu) tahun hingga pidana mati. Meski kebijakan kriminal melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir menunjukan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada, bahkan kurvanya meningkat. Tak pelak, beberapa komentar sumbang disasarkan ke lembaga-lembaga penegakan Hukum seperti kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan. Antara lain, para penegak hukum dianggap tidak mendukung dan tidak memberi kontribusi yang signifikan untuk program Pemberantasan kejahatan narkoba. Tulisan ini mencoba mencermati komentar sumbang tersebut, dengan menjawab atas pertanyaan-pertanyaan berikut : terhadap kian maraknya kejahatan narkoba di Indonesia, apakah hal itu berarti: pengadilan (dengan produknya berupa putusan pengadilan) telah gagal dalam tugasnya “mencegah” terjadinya kejahatan narkoba? Lalu, adilkah bila efektivitas penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tersebut hanya dibebantugaskan kepada pengadilan saja?
Kejahatan Narkoba Sebagai Penyakit Sosial.
Regulasi narkoba di Indonesia dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie, Stbl.1927 No. 278 jo. No.536), lalu diganti dengan UU No.9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, yang kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1997, dan terakhir diganti lagi dengan UU No.35 tahun 2009. keberadaan Perundang-Undangan narkoba tersebut tidak terlepas dari UU No.8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1971 dan UU No.7 Tahun 1997 tentang pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic). Peraturan lain di bawah Undang-Undang bisa disebutkan, antara lain : PP No.1 Tahun 1980 tentang ketentuan penanaman Papaver, Koka dan Ganja; Inpres No. 3 tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainya; Permenkes No. 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang peredaran Psikotropika; Kepmenkes No. 917/Menkes/SK/VIII/1997 tentang jenis Prekursor Psikotropika dan Kepmenkes No. 890/Menkes/SK/VIII/1989 tantang jenis Prekursor Narkotika. Diterbitkannya Perundang-Undangan narkoba tersebut di atas juga dilatarbelakangi oleh akses lain penggunaan narkoba. Untuk kepentingan penelitian dan kepentingan medis, narkoba memang legal. Namun menjadi ilegal, bila untuk di luar 2 (dua) kepentingan tersebut.
Penggunaan/konsumsi narkoba di luar pengawasan ahlinya (dokter), akan membawa dampak negatif dan membahayakan bagi pemakainya. Diawali dengan efek candu (ketagihan) sebagai akibat muai rusaknya susunan syaraf pusat. Apabila pemakaiannya berlanjut, beberapa penyakit susulannya pun muncul. Diantaranya : paranoia, depresi, agresi, halusinasi, terganggunya produksi hormon di dalam tubuh, kemandulan dan penyusutan testikel pada pria. Efek ketagihan tersebut seringkali diikuti dengan deviasi perilaku, karena dorongan kuat untuk bagaimana mendapatkan narkoba, dari mulai cara yang halal hingga cara yang tidak halal (kriminal). Atas alasan penyalahgunaan narkoba dan peredaran gelap narkoba tersebut, maka para produsen narkoba, pengedar narkoba berikut jaringannya, dan penyalahguna narkoba telah diseret ke peradilan pidana Indonesia dengan jerat perundang-undangan narkoba tersebut. Meski sudah banyak pelakunya yang dijatuhi pidana, namun ternyata masih juga ada kejahatan narkoba di Indonesia. Seolah prevensi khusus dan prevensi Umum dari penjatuhan pidana terhadap para pelaku maupun pelaku potensialnya sama sekali tidak berpengaruh.
Ada fenomena menarik dari jenis pelaku penyalah guna dan pengedar narkoba, yaitu pertama, “pelaku lama” dan kedua, “pelaku baru”. Terhadap pelaku lama, masih terbagi lagi dalam kategori : pelaku yang masih berstatus narapidana dan pelaku yang sudah tidak lagi berstatus narapidana. Terhadap pelaku baru pun terbagi dalam kategori : pelaku yang memang sudah menjadi target operasi, dengan identitas yang sudah diketahui (namun belum tertangkap) maupun pelaku yang benar-benar baru. Pelaku-pelaku baru tersebut bukannya tidak mengetahui adanya putusan pidana yang telah dijatuhkan pengadilan, apalagi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, bahkan bagi pelaku-pelaku lamanya, mereka tahu dan mengerti lalu kalau mereka tahu dan mengerti, mengapa mereka secara sadar melakukan atau melakukan kembali kejahatan narkoba? Apa yang menjadi sebab mereka melakukan kejahatan narkoba? Apakah sebab-sebab tersebut sama antara pelaku satu dengan pelaku lainnya? Lalu, apakah putusan pengadilan mampu meng-“ cover ” atas semua sebab kejahatan narkoba tersebut?.
Dalam disiplin Hukum Pidana, lazim didengar istilah ultimum remedium. Artinya. Sanksi pidana diposisikan sebagai jurus pamungkas, jika mekanisme diluar hukum pidana tidak berjalan efektif. Ini menunjukan, bahwa sanksi pidana idealnya merupakan “obat terakhir” setelah upaya-upaya di luar hukum pidana (nonpenal) dioperasionalkan/difungsikan. Diakui, bahwa sebab-sebab orang melakukan kejahatan itu demikian kompleks, dan berada di luar jangkauan Hukum Pidana. Dalam formulasi yang lebih menukik, penulis dapat mengatakan :
“ telah lama diketahui keterbatasan pemidanaan dalam menegakkan dan menjaga ketertiban dan keamanan individual maupun umum…Secara objektif, eskalasi perbuatan pidana terjadi karena berbagai faktor lingkungan, seperti tatanan politik, tatanan ekonomi, tatanan sosial, bahkan sebagai ekses budaya”.
Apabila kejahatan narkoba dilihat dari optikkebijakan kriminal, maka pencegahan dan penanggulangannya tidak boleh hanya mengandalkan pada peran jalur penal saja. Untuk efektivitas dan efisiensinya, justru perlu ada peran dan kinerja optimal dari jalur nonpenal. Hal itu, lebih disebabkan adanya peran yang saling melengkapi dari masing-masing jalur tersebut. Jalur nonpenal brsifat preventif, yang bekerja sebelum kejahatan narkoba terjadi, yakni melakukan langkah-langkah antisipatif agar kejahatan narkoba tidak terjadi, include di dalamnya melakukan penanganan terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan narkoba. Sebaliknya, jalur penal lebih bersifat represif-(baru) bekerja setelah kejahatan narkoba terjadi, dengan fokus utama pada pelakunya. Dari sisi frekuensinya, jalur nonpenal bersifat kintinu, yaitu “tetap bekerja” , baik sedang tidak ada pelanggarannya maupun/apalagi setelah ada pelanggarannya. Sebaliknya, jalur penal bersifat temporal kondisional, yaitu hanya “bekerja” ketika ditemukan pelanggaranya. Membandingkan pola kerja pada kedua jalur tersebut, maka peran jalur penal yang merupakan ultimum remedium tersebut sesungguhnya hanya mem-backup jalur nonpenal. Kerenanya, sebagai sebuah usaha rasional dari masyarkat dalam menanggulangi kejahatan, wajar bila kebijakan kriminal kemudian “memerintahkan” agar kedua jalur tersebut (penal dan nonpenal) diberdayakan secara berbarengan. pangejawantahan dari jalur nonpenal terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dapat berupa antara lain :
- Sosialisasi peraturan perundang-undangan narkoba, dari mulai menjelaskan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang hingga bentuk sanksi pidanya, dengan sasaran : sekolah/Universitas, kelompok remaja/pemuda dan masyarkat umumnya ;
- Sosialisasi tentang bahaya penyalahgunaan narkoba terhadap fisik dan mentalitas pemakainya, di mana pada gilirannya mampu menimbulkan instabilitas keamanan masyarakat serta ketahanan nasional, yang diberikan dalam bentuk antara lain, seminar, ceramah, penyuluhan, membuat booklet ;
- Sosialisasi tersebut melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti orang tua, guru, mantan pemakai narkoba yang sudah sadar, jajaran pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang terkait, tokoh-tokoh masyarakat, hingga tokoh-tokoh agama ;
- Bekerja sama dengan media massa untuk informasi timbal balik tentang kegiatan-kegiatan preventif tersebut,berikut output & outcome-nya ;
Apabila langkah-langkah strategis tersebut mampu secara terus menerus dilakukan, maka pengguna narkoba dari hari ke hari akan makin jauh berkurang, yang pada gilirannya akan mampu mereduksi permintaan dan penawaran (demand reduction & supply reduction) pada “pasar narkoba”, hingga pada akhirnya peredaran gelap narkoba akan hilang dengan sendirinya dari bumi Indonesia.
Sinergi
Kebijakan
Upaya melakukan segala bentuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy) yang oleh G. Peter Hoefnageles diartikan sebagai “the rational organization of the social reaction to crime”. Dan kebijakan kriminal ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (sosial policy), yang terdiri dari upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (sosial devence) dan upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (sosial welfare). Dengan demikian, tujuan utama dari kebijakan kriminal terhadap kejahatan narkoba adalah berkontribusi dalam mewujudkan tujuan dari kebijakan sosial tersebut, yaitu memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar